Dr. EFENDI LOD SIMANJUNTAK, SH.,MH.


Quick Contact

EFENDI LOD SIMANJUNTAK & PARTNERS Law Office

Office : Plaza Sentral, 9th Floor Suite 905, Jl. Jend. Sudirman Kav. 47-48, Karet Semanggi, Setiabudi, Jakarta  Selatan 12930

Jakarta - Indonesia

 

Telephone : +6221 5207705
Mobile : +62812 8282 6040
E-mail : efendi@efendilaw.com
     

 




 
Article
“KEPAILITAN”
(2017-03-24)

5 Fakta Sejarah Seputar Cross-Border Insolvency

Globalisasi membawa dampak kompleksitas masalah dalam penerapan hukum positif suatu negara. Di sektor hukum kepailitan, salah satu masalah yang muncul adalah cross-border insolvency atau kepailitan lintas negara. Cross-border insolvency biasanya terkait dengan pemberesan harta pailit yang berada di luar negeri sehingga menyulitkan kurator dalam melakukan pemberesan. Berikut ini 5 fakta sejarah seputar cross-border insolvency yang perlu Anda ketahui.

Pertama, bermula di benua Amerika. Walaupun terbilang baru menjadi wacana di Indonesia, cross-border insolvency dalam skala global sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1889. Kala itu di Monteviedo, Uruguay, tujuh perjanjian ditandatangani oleh sejumlah negera benua Amerika seperti Argentina, Uruguay, Paraguay, Bolivia, dan Peru.

Tujuh perjanjian tersebut dibuat dalam rangka harmonisasi hukum perdata internasional, dan salah satunya terkait aturan kepailitan lintas negara. Dalam perkembangannya, perjanjian-perjanjian tersebut diperbarui pada tahun 1930.

Apa yang terjadi di Monteviedo menjalar ke negara-negara di Kawasan Eropa Timur dan Atlantik Utara yang populer disebut Nordic atau Skandinavia. Tahun 1933, sejumlah negara Nordic seperti Denmark, Finland, Iceland, Norway dan Swedia menandatangani Nordic Bankruptcy Convention. Mengatur tentang kepailitan lintas negara di kawasan Nordic, Konvensi tersebut masih berlaku hingga sekarang.

Kedua, Solomons vs Ross, kasus cross-border insolvency tertua. Jauh sebelum negara-negara benua Amerika merumuskan tujuh perjanjian terkait cross-border insolvency, di Inggris muncul kasus kepailitan lintas negara pertama. Dalam kasus yang terjadi pada tahun 1764, sebuah korporasi asal Belanda dinyatakan pailit oleh pengadilan. Hukum yang berlaku di Inggris menyatakan otoritas yang berwenang dijamin kewenangannya untuk melaksanakan putusan pengadilan pailit di yurisdiksi negara lain.

Ketiga, UNCITRAL Model Law. Organ Perserikatan Bang-Bangsa yang mengurusi perdagangan internasional, United Nation Commission on International Law (UNCITRAL) tercatat menerbitkan suatu instrumen hukum yang dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan cross-border insolvency di lingkup internasional. Ditandatangani pada tahun 1997, instrumen yang lazim disebut UNCITRAL Model Law itu kini telah diadopsi menjadi hukum nasional di sekitar 33 negara di dunia.

Keempat, EC Regulation on Insolvency Proceedings. Dirumuskan pada tanggal 29 Mei 2000 dan kemudian resmi berlaku pada tanggal 31 Mei 2002, EC Regulation on Insolvency Proceedings merupakan instrumen hukum yang berlaku di kalangan negara-negara anggota Uni Eropa sebagai dasar kerja sama di bidang hukum kepailitan.

Walaupun diprakarsai oleh dua organisasi internasional yang berbeda, namun UNCITRAL Model Law dan EC Regulation on Insolvency Proceedings sama-sama menerapkan konsep Centre of Main Interest (COMI) yakni proses hukum kepalitian didasarkan pada yurisdiksi negara dimana tempat pusat aset debitor berada. EC Regulation on Insolvency Proceedings ditegaskan tidak dapat diterapkan jika COMI terletak di negara non-anggota Uni Eropa.

Kelima, perkembangan ASEAN. Tidak mau tertinggal dari kawasan lain, organisasi negara-negara di kawasan Asia tenggara, Association of Southeast Asia Nation (ASEAN) mulai merancang perangkat hukum terkait cross-border insolvency. Pembahasan mengenai cross-border insolvency telah berlangsung di kawasan ASEAN melalui forum ASEAN Senior Law Officials Meeting dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Pada tahun 2013, Indonesia bersama sembilan negara anggota ASEAN lainnya menggagas pembentukan ASEAN Cross-Border Insolvency Regulation. Kala itu, gagasan ini dilontarkan untuk menyikapi penerapan ASEAN Economic Agreement pada tahun 2015 yang diyakini akan berdampak pada perkembangan hukum bisnis termasuk hukum kepailitan di kawasan ASEAN.

ASEAN Cross-Border Insolvency Regulation dipersiapkan untuk mengatasi permasalahan pelaksanaan putusan kepailitan lintas negara yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN.

Oleh : Efendi Lod Simanjuntak. SH, MH.

EFENDI LOD SIMANJUNTAK AND PARTNERS merupakan firma hukum yang berpengalaman di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Tim kami yang terdiri dari para advokat berlisensi PERADI dengan jam terbang tinggi siap mendampingi Anda mengurus masalah hukum kepailitan. Informasi lebih lanjut silahkan hubungi 081282826040, email efendi@efendilaw.com, Web : www.efendilaw.com.







© 2012 Dr. Efendi Lod Simanjuntak, SH.,MH. . All rights reserved
 

pengacara litigasi jakarta, lawyer litigation, pengacara kriminal jakarta, lawyer litigasi jakarta, criminal lawyer indonesia, pengacara perusahaan jakarta, corporate lawyer jakarta, corporate lawyer indonesia, advokat jakarta, pengacara jakarta